POLA PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM

Hasil gambar untuk Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang sengaja didirikan dan diselenggarakan dengan hasrat dan niat (rencana yang sungguh-sunguh) untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam, sebagaimana tertuang atau terkandung dalam visi, misi, tujuan, program kegiatan maupun pada praktek pelaksanaan kependidikannya. Cara pandang pengembang, pengelola, dan pelaksana pendidikan dalam mengembangkan dan menyelenggarakan program dan praktek pendidikan Islam di lapangan dengan memperhatikan landasan filosofis historis dan konteks sosial budaya, serta perkembangan peserta didik itu sendiri untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.
Sebagai sebuah proses yang berlangsung secara cepat dan dinamis pendidikan Islam termasuk yang paling banyak menghadapi problematika. Berbagai aspek yang terkait dengan kegiatan pendidikan Islam, mulai dari visi, misi, tujuan, dasar, dan landasan pendidikan, tujuan kurikulum, tenaga pendidikan, metodologi pembelajaran, sarana prasarana, evaluasi, pembiayaan, secara keseluruhan mengandung permasalahan yang hingga kini belum dapat dipecahkan secara tuntas. Demikian pula perhatian dan kesungguhan pihak pemerintah dan masyarakat dalam ikut serta mengatasi permasalahan pendidikan sebagaimana diatas, masih merupakan persoalan yang belum terpecahkan.
Secara historis pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sangat terkait erat dengan kegiatan dakwah Islamiyah. Pendidikan islam berperan sebagai mediator dalam memasyarakatkan ajaran Islam kepada masyarakat dalam berbagai tingkatannya. Melalui pendidikan inilah, masyarakat Indonesia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Sehubungan dengan itu tingkat kedalaman pemahaman, penghayatan dan pengamalan masyarakat terhadap ajaran Islam amat tergantung pada tingkat kualitas pendidikan Islam yang diterimanya. Pendidikan Islam tersebut berkembang setahap demi setahap hingga mencapai tingkat seperti sekarang ini.
Di tengah-tengah suasana keprihatinan dan krisis pendidikan Islam, berbagai pemikiran para cendekiawan dalam merespon problem pendidikan Islam yang sedang tumbuh dan berkembang di Indonesia dalam konteksnya masing-masing, sebagai upaya antisipasif terhadap arah pengembangan pendidikan Islam Indonesia di masa depan. Melalui kajian ini, maka kami akan mengkaji tentang Pola Pengembangan Pendidikan Islam.

Masalah pengembangan aktivitas pendidikan islam di indonesia pada dasarnya sudah berlangsung sejak sebelum indonesia merdeka sehingga sekarang hingga yang akan datang. Hal ini dapat dilihat dari fenomena tumbuh kembangnya program dan praktik pendidikan islam yang di laksanakan di nusantara. Buchori (1989) mematahkan struktur internal pendidikan islam di indonesia, jika di tilik dari aspek program dan praktik pendidikannya ke dalam 4 jenis yaitu:
1.      Pendidikan pondok pesantren
2.      Pendidikan madrasah
3.      Pendidikan umum yang bernafaskan islam dan,
4.      Pelajaran agama islam yang di selenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja.
Ada 5 pendidikan islam dalam keluarga atau di tempat-tempat ibadah, dan/atau di forum-forum kajian keislaman, majelis ta’lim, dan institusi-institusi lainnya yang sekarang yang sedang di galakkan oleh masyarakat, jenis yang kelima di sebut biasa di sebut dengan pendidikan islam di luar sekolah (pendidikan islam non formal).
Kelima jenis pendidikan islam tersebut pada dasarnya bermuara pada satu pengertian yang utuh, bahwa yang di maksud pendidikan islam ialah pendidikan yang di selenggarakan atas dasar hasrat, motifasi, niat (rencana yang sungguh-sungguh) dan semangat untuk memanifestasikan atau mengejawantahkan nilai-nilai islam, yang di wujudkan dalam visi, misi tujuan maupun program pendidikan dan melaksanakannya sebagaimana yang tercakup dalam lima program dan praktik pendidikan islam tersebut diatas.
Dalam perjalanan sejarahnya, pengembangan kelima jenis tersebut  pendidikan islam tersebut ternyata sudah menjadi wacana yang serius di kalangan para tokoh pendidikan islam sejak sebelum indonesia merdeka. Kajian ini bermaksud untuk menjajaki berbagai pola perkembangan pemikiran pengembangan pendidikan islam yang berkembang sebelum indonesia merdeka, terutama hingga sejak awal abad 20 hingga menjelang masa kemerdekaan (1945).
Azara (1999) menentukan pola kajian pendidikan islam di indonesia sebagaimana pendapat dalam literatur-literatur yang tersedia selama ini, kedalam 3 kategori yaitu:
1.      Kajian historis pendidikan islam
2.      Kajian pemikiran dan teori pendidikan islam, dan
3.      Kajian metodologis pendidikan islam.
Dilihat dari ketiga pola diatas tersebut, maka kajian ini difokuskan pada yang pertama, yakni kajian sosio-historis pendidikan islam.
Pengembangan pendidikan islam di indonesia, terutama pada periode sebelum indonesia merdeka (1900- menjelang 1945), agaknya lebih di tunjukkan upaya menghadapi pendidikan kolonial. Pada periode tersebut di duga muncul berbagai problem dan isu-isu pendidikan islam yang menonjol, yang merupakan diskursus dalam pengembangan pendidikan islam, terutama dikalangan pemikir, pengembangan dan pengelola pendidikan islam di indonesia.
Kajian ini di perlukan terutama dalam rangka mengantisipasi pendidikan islam kontenporer untuk tidak terjebak ke dalam pola pengembangan yang bersifat regresif dan konservatif, mengingat suasana zaman dan konteks sosio kultural yang berbeda. Pengembangan pendidikan islam yang berjalan  di tempat dan/atau atau surut kebelakang diduga akan terganjal oleh banyak persoalan dalam menghadapi era perkembangan iptek dan globalisasi.
Pada awa abad ke-20 M, pendidikan di indonesia menjadi ada dua golongan, yaitu:
  1. Pendidikan yang diberikan oleh sekolah-sekolah barat yang sekuler yang tak mengenal ajaran agama
  2. Pendidikan yang di berikan oleh pondok pesantren yang hanya mengenal agama saja.
Atau menurut istilah Wirjosukarto (1985) pada periode tersebut terdapat dua corak pendidikan, yaitu corak lama yang berpusat di pondok pesantren, dan corak baru  dari perguruan (sekolah-sekolah) yang didirikan oleh pemerintah belanda.
Hasil penelitian stinbrink (1986) menunjukkan bahwa pendidikan kolonial tersebut sangat berbeda dengan pendidikan islam indonesia yang tradisional, bukan saja dari segi metode, tapi lebih khusus dari segi khusus dan tujuannya. Pendidikan yang di kelola oleh pemerintah kolonial khususnya berpusat pada pengetahuan dan ketrampilan duniawi yaitu pendidikan umum. Sedangkan lembaga pendidikan islam lebih di tekankan pada pengetahuan dan ketrampilan berguna bagi penghayatan agama. Wirjosukarto (1985) lebih merinci ciri-ciri dari masing-masing corak pendidikan tersebut. Ciri-ciri corak lama adalah: a) Menyiapkan calon ulama atau kyai yang hanya menguasai masalah agama semata, b) Kurang di berikan pengetahuan untuk menghadapi perjuangan hidup sehari-hari dan pengetahuan umum sama sekali tidak di berikan, c) Sikap isolasi yang di sebabkan karena sikap nonkooperatif secara total dari pihak pesantren terhadap apa saja yang berbau barat, dan aliran kebangunan islam tidak leluasa untuk bisa masuk karena dihalang-halangi oleh pemerintah belanda. Sedangkan ciri-ciri corak baru adalah: a) hanya menunjukkan intelek dan sekaligus melahirkan golongan intelek, b) pada umumnya bersikap negatif terhadap agama islam, c) alam pemikirannya tersaring dari kehidupan bangsanya.
Jurang yang memisahkan antara kedua golongan itu semakin jelas, dan semakin hari semakin meluas, baik dalam aktivitas-aktivitas sosial, maupun intelektual, dalam cara-cara bergaul, berpakaian, berbicara, berfikir dan sebagainya. Golongan intelegensia pesantren di sebut ulama (dalam arti sempit).
Dengan terpecahnya dunia pendidikan menjadi dua corak yang sangat beda itu, tentunya tidak akan menguntungkan perkembangan masyarakat indonesia yang akan datang, bahkan aka merugikan agama islam sendiri. Karena itu, perbedaan tersebut perlu di hilangkan atau setidak-tidaknya di kurangi tidak tajam, dengan jalan:
1.      Mendirikan tempat-tempat pendidikan dimana ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum diajarkan bersama-sama
2.      Memberikan tambahan mata pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum umum yang sekuler.
Tujuan yang ideal adalah usaha yang pertama tersebut, sehingga kalau ini berhasil di laksanakan, maka akan lahir ulama-ulama (intelegensia) baru yang selain pandai dalam ilmu agama-agama juga memahami ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dari sini muncul gagasan ulama intelek. Sedangkan usaha yang kedua bermaksud mengisi kekosongan intelegensia barat akan agama, setidak-tidaknya bersikap negatif terhadap agama yang akan di hilangkan, atau lebih baik bila dapat di capai lebih dari itu, sehingga mereka concern dalam memperdalam agama dengan usaha kami sendiri. Dari usaha ini akan lahir intelek-ulama, yaitu seorang yang pandai dalam ilmu pengetahuan umum tetapi juga mengerti soal-soal agama. Usaha-usaha tersebut antara lain di lakukan oleh syekh H. Abdullah Ahmad (1878-1933 M) dan K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923 M).
Dari uraian diatas dapat di tegaskan bahwa di samping kedua corak pendidikan tersebut diatas, juga terdapat corak pendidikan ketiga yang merupakan sintesa dari corak lama dan corak baru. Dia berusaha untuk memasukkan pendidikan agama pada sekolah umum, yang secara embrional yang merupakan upaya penyiapan calon-calon ulama intelek dan/atau intelek ulama.
Uraian terdahulu menggaris bawahi adanya tiga model pengembangan pendidikan, yaitu: model pendidikan pondok pesantren, pendidikan kolonial, dan model sintesis. Usaha tersebut berusaha lebih jauh terhadap corak pendidikan yang pertama (pendidikan pondok pesantren) dan corak pendidikan yang tiga (sintesis), sedangkan corak kedua tidak banyak menjadi perhatian dalam kajian ini, karena ia tidak mengembangkan pendidikan islam.
Hasil kajian Wirjosukarto (1985) menunjukkan bahwa tujuan utama pendidikan pondok pesantren adalah menyiapkan calon lulusan yang hanya menguasai masalah agama semata. Rencana pembelajaran (kurikulum) di tetapkan oleh kyai dengan menunjukkan kitab-kitab apa yang harus di pelajari. Penggunaan kitab di mulai dari jenis kitab yang rendah dalam suatu disiplin ilmu keislaman sampai pada tingkat yang tinggi. Kenaikan kelas atau tingkat ditandai dengan bergantinya kitab yang di telaah setelah kitab-kitab sebelumnya selesai dipelajarinya. Ukuran untuk keilmuan seorang santri bukannya banyak kitab yang di pelajari tetapi diukur dengan praktik mengajar sebagai guru mengaji dan dapat memahami kitab-kitab yang sulit dan mengajarkan kepada santri-santri lainnya.
Pandangan-pandangan tersebut di landasi pemikiran bahwa hakikat manusia adalah sebagai ‘abd Allah yang senantiasa mengadakan hubungan vertikal dengan Allah guna mencapai kesalehan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Untuk merealisasikan hubungan tersebut di perlukan pendidikan dan pengajaran agama islam.
Pada tingkat permulaan, isi pendidikan islam meliputi:
1.      Belajar membaca Al-Qur'an dan belum di rasakan perlunya memahami isinya,
2.      Pelajaran dan praktik shalat dan,
3.      Pelajaran ketuhanan (teologis) atau ketauhitan dan pada garis besarnya  berpusat pada sifat dua puluh.
Bagi mereka yang ingin memperdalam agamanya di berikan bahasa arab. Fiqih ini mengenai taharah, shalat, zakat, shaum dan ibadah haji. Pada tingkat yang lebih tinggi di pelajari pula peraturan-peraturan mengenai nikah, talaq dan rujuk serta  faraidl (hukum warisan).
Menurut muhammad yunus (1979), bahwa isi pendidikan islam pada pada pondok pesantren, terutama pada masa perubahan (1900-1908) meliputi: 1) pengajian Al-Qur’an, 2) pengajian kitab yang terdiri atas beberapa tingkat yaitu: (a) mengaji nahwu, sharaf dan fiqh dengan memakai kitab ajrumiyiah, matan bina,  fathul qorib dan sebagainya, (b) mengaji tauhid, nahwu sharf, dan fiqh dengan memakai kitab-kitab sanusi, syekh khalid (azhari,’Asyimawi), kailani , fathul mu’in dan sebagainya; dan (c) mengaji tauhid, nahwu, sharf , fiqh, tafsir dan lain-lain dengan memakai kitab-kitab kifayatul ‘Awam (Ummul birahim), Ibnu ‘Aqil, mahall), jalalain/Baidlawi dan sebagainya.
Isi pendidikan islam tersebut jika dilihat dari klasifikasi ilmu pengetahuan dan sebagaimana tertuang dalam merekomendasi umum koperasi pendidikan muslim yang pertama (1977) di mekkah, maka pengetahuan yang di kembangkan pondok pesantren saat itu lebih menekankan pada given pernnial knoledge, pengetahuan abadi yang di wahyukan, yang berdasarkan pada wahyu Ilahi yang tertuang  dalam Al-Qu’an dan Al-sunnah dan semua pengetahuan yang berasal dari keduanya dengan menekankan bahasa arab sebagai kunci untuk memahami keduanya. Sedangkan “Acquered know ledge” (pengetahuan yang di peroleh) tidak sama sekali di berikan ke pesantren tersebut.
Dengan demikian fungsi pendidikan islam adalah melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai ilahi dan insani sebagaimana terkandung dalam kitab-kitab ulama terdahulu. Fungsi ini melekat pada setiap komponen aktivitas pendidikan islam. Hakikat tujuan pendidikan adala[2]h terwujudnya penguasaan ilmu agama islam sebagaimana tertuang dan terkandung dalam kitab-kitab produk ulama terdahulu serta tertamamnya pesantren agama yang mendalam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hakikat pendidik adalah orang yang mampu memahami kitab-kitab keagamaan yang sulit dan mampu mengajarkannya kepda pihak lain. Hakikat peserta didik adalah seseorang yang sedang belajar dan memahami agama (sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab terdahulu) dan mengembangkan perasaan beraganma yang mendalam. Kurikulum adalah rencana pembelajaran sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab  keagamaan pruduk ulama terdahulu. Evaluasi adalah penilain terhadap kemampuan santri akan kitab-kitab yang di pelajari untuk selanjutnya meningkat dalam mempelajari kitab yang baru di tetapkan oleh kiyai.
Sedangkan model pendidikan sintesis muncul bersamaan dengan lahirnya madrasah-madrasah yang berkelas, yang muncul sejak tahun 1909. Hasil penelitian Muhammad Yunus menunjukkan, bahwa pendidikan islam yang mula-mula berkelas dan memakai bangku, meja dan papan tulis, ialah sekolah adabiyah/madrasah adabiyah (adabiyah school) di padang. Inilah madrasah (sekolah agama) yang pertama di minangkabau, bahkan di seluruh indonesia yang di dirikan oleh syekh Abdullah  Ahmad pada tahun 1909. Adabiyah ini hidup sebagai madrasah (sekolah agama) sampai tahun 1914, kemudian diubah menjadi HIS  yang pertama minangkabau yang memasukkan mata pelajaran agama dalam rencana pelajarannya.

Dalam realitas kehidupan sehari-hari sering timbul pertanyaan: apa saja aspek-aspek kehidupan itu? Apakah agama merupakan bagian dari aspek kehidupan, sehingga hidup beragama berarti menjalankan salah satu aspek dari berbagai aspek kehidupan, ataukah agama merupakan sumber nilai-nilai dan operasional kehidupan, sehingga agama akan mewarnai segala aspek kehidupan itu sendiri?. Dalam konteks inilah para pemikir dan pengembang pendidikan pada umumnya mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut pada gilirannya melahirkan beberapa model dalam pengembangan PAI sebagaimana uraian berikut:
a.       Model Dikotomis
Pada model ini, aspek kehidupan dipandangan sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan. Pandangan dikotomis tersebut pada gilirannya dikembangkan dalam memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani, sehingga pendidikan agama Islam hanya diletakkan pada aspek kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja. Dengan demikian, pendidikan agama dihadapkan dengan pendidikan non agama, pendidikan keislaman dengan nonkeislaman, demikian seterusnya.
Pandangan semacam itu akan berimplikasi pada pengembangan pendidikan agama Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrowi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dari kehidupan jasmani. Pendidikan (agama) Islam hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni-budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang menjadi garapan bidang pendidikan nonagama. Pandangan dikotomis inilah yang menimbulkan dualisme dalam sistem pendidikan, yaitu istilah pendidikan agama dan nonagama. Sikap dikotomi (dualisme) ini terkait erat dengan world view umat Islam dalam memandang dan menempatkan dua sisi ilmu, yaitu ‘ilm al-dînîyah dan ‘ilm ghair al-dînîyah.
Demikian pula pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat keagamaan yang normatif, doktriner dan absolutis. Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku (actor) yang loyal, memiliki sikap commitment (keberpihakan), dan dedikasi (pengabdian) yang tinggi terhadap agama yang dipelajari. Sementara itu, kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman, sehingga perlu ditindih oleh pendekatan yang normatif dan doktriner tersebut.
Pola dikotomi yang demikian, telah menimbulkan sejumlah efek negatif. Abdurrahman Mas’ud dalam salah satu penelitiannya sebagaimana dikutip Ma’arif menunjukkan bahwa cara pandang yang dikotomik tersebut akhirnya telah membawa kemunduran dalam dunia pendidikan Islam. Di antaranya adalah menurunnya tradisi belajar yang benar di kalangan muslim, layunya intelektualisme Islam, melanggengkan supremasi ilmu-ilmu agama yang berjalan secara monotomik, kemiskinan penelitian empiris serta menjauhkan disiplin filsafat dari pendidikan Islam.
b. Model Mekanisme
Model mekanisme memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, 15 yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa berkonsultasi atau tidak.
Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai estetik, nilai biofisik, dan lain-lain. Demikian juga dalam proses pendidikan dibutuhkan sistem nilai agar dalam
pelaksanaannya berjalan dengan arah yang pasti, karena berpedoman pada garis kebijaksanaan yang ditimbulkan oleh nilai-nilai fundamental, misalnya nilai agama, ilmiah, sosial, ekonomi, kualitas kecerdasan dan sebagainya.
            Oleh karena itu, jika kita membahas nilai-nilai pendidikan, akan jelas melalui rumusan dan uraian tentang tujuan pendidikan, sebab di dalam rumusan tujuan pendidikan itu tersimpul dari semua nilai pendidikan yang hendak diwujudkan di dalam pribadi peserta
didik. Demikian pula, jika berbicara tentang tujuan pendidikan Islam, berarti berbicara nilai-nilai ideal yang bercorak Islami. Hal ini mengandung makna bahwa tujuan pendidikan Islam adalah tujuan yang merealisasi idealitas Islami. Sedang idealitas Islami itu sendiri pada hakikatnya adalah mengandung nilai perilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati.
            Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek kehidupan lainnya. Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai lainnya kadangkadang bersifat horizontal-lateral (independent) atau bersifat lateralsekuensial, tetapi tidak sampai pada vertikal linier.
            Relasi yang bersifat horizontal-lateral (independent), mengandung arti bahwa beberapa mata pelajaran yang ada dan pendidikan agama mempunyai hubungan sederajat yang independen, dan tidak saling berkonsultasi. Relasi yang bersifat lateral-sekuensial, berarti di antara masing-masing mata pelajaran tersebut mempunyai relasi sederajat yang bisa saling berkonsultasi. Sedangkan relasi vertikal linier berarti mendudukkan pendidikan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi, sementara seperangkat mata pelajaran
yang lain termasuk pengembangan nilai insani yang mempunyai relasi vertikal linier dengan agama.
Dalam konteks tersebut, selama ini di sekolah-sekolah masih ada proses sekularisasi ilmu, yakni pemisahan antara ilmu agama dan pengetahuan umum. Nilai-nilai keimanan dan ketakwaan seolaholah hanya merupakan bagian dari mata pelajaran pendidikan agama, sementara mata pelajaran yang lain mengajarkan ilmunya seolah-olah tidak ada hubungannya dengan masalah nilai keimanan dan ketakwaan.23 Dampak berupa gejala kegersangan batin dan kejiwaan modern adalah konsekuensi dari hal itu. Bahkan pendidikan di dunia muslim pun berurat berakar mengadopsi konsep sekuler
yang dikotomis dan tidak utuh.
            Model tersebut tampak dikembangkan pada sekolah yang di dalamnya diberikan seperangkat mata pelajaran atau ilmu pengetahuan, yang salah satunya adalah mata pelajaran pendidikan agama yang hanya diberikan 2 atau 3 jam pelajaran per minggu, dan didudukkan sebagai mata pelajaran, yakni sebagai upaya pembentukan kepribadian yang religius. Kebijakan ini sangat prospektif dalam membangun watak, moral dan peradaban bangsa yang bermartabat. Namun demikian, dalam realitasnya pendidikan agama Islam sering termarginalkan, bahkan guru PAI di sekolah pun kadang-kadang terhambat karirnya untuk menggapai jabatan fungsional tertinggi, karena tidak tersedia program studi sebagai induknya.
            Kebijakan tentang pembinaan pendidikan agama Islam secara terpadu di sekolah umum misalnya, antara lain menghendaki agar pendidikan agama dan sekaligus para guru agamanya mampu memadukan antara mata pelajaran agama dengan pelajaran umum. Kebijakan ini akan sulit diimplementasikan pada sekolah yang cukup puas hanya mengembanhkan pola relasi horizontal-lateral (independent). Barangkali kebijakan tersebut relatif mudah diimplementasikan pada lembaga pendidikan yang mengembangkan pola lateral-sekuensial. Hanya saja implikasi dari kebijakan tersebut adalah para guru agama harus menguasai ilmu agama dan memahami substansi ilmu-ilmu umum, sebaliknya guru umum dituntut untuk menguasai ilmu umum (bidang keahliannya) dan memahami ajaran dan nilai-nilai agama. Bahkan guru agama dituntut untuk mampu menyusun buku-buku teks keagamaan yang dapat menjelaskan hubungan antara keduanya.
c. Model Organism/Sistemik
Meminjam istilah biologi, organism dapat berarti susunan yang bersistem dari berbagai bagian jasad hidup untuk suatu tujuan. Dalam konteks pendidikan Islam, model organism bertolak dari pandangan bahwa aktivitas kependidikan merupakan suatu sistem
yang terdiri atas komponen-komponen yang hidup bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu terwujudnya hidup yang religius atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama.
            Pandangan tersebut menggarisbawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrines dan fundamental values yang tertuang dan terkandung dalam al-Qur’an dan al- Sunnah al-Shahîhah sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai-nilai ilahi didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insani yang mempunyai hubungan vertikal-linier dengan nilai ilahi/agama.
            Nilai ilahi dalam aspek teologi tak pernah mengalami perubahan, sedangkan aspek amaliahnya mungkin mengalami perubahan sesuai dengan tututan zaman dan lingkungan. Sebaliknya nilai insani selamanya mengalami perkembangan dan perubahan menuju ke arah yang lebih maju dan lebih tinggi. Tugas pendidikan adalah memadukan nilai- nilai baru dengan nilai-nilai lama secara selektif, inovatif, dan akomodatif guna mendinamisasikan perkembangan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan, tanpa meninggalkan nilai fundamental yang menjadi tolok ukur bagi nilai-nilai baru.
            Melalui upaya semacam itu, maka sistem pendidikan Islam diharapkan dapat mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki kematangan profesional, dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama.
            Paradigma tersebut tampaknya mulai dirintis dan dikembangkan dalam sistem pendidikan di madrasah, yang dideklarasikan sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam, atau sekolah-sekolah (swasta) Islam unggulan. Kebijakan pengembangan madrasah berusaha mengakomodasikan tiga kepentingan utama, yaitu: pertama, sebagai wahana untuk membina roh atau praktik hidup keislaman; kedua, memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah sederajat dengan sistem sekolah, sebagai pembinaan
warga negara yang cerdas berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif; dan ketiga, mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan dalam arti sanggup melahirkan manusia yang memiliki ke siapan memasuki era globalisasi, industrialisasi maupun era informasi.
            Maka dari itu, model organisme/sistemik dapat diimplementasikan dalam pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah, mengingat kegiatan pendidikan agama yang berlangsung selama ini lebih banyak bersikap menyendiri, kurang berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya. Cara kerja semacam ini kurang efektif untuk keperluan penanaman suatu perangkat nilai yang kompleks. Selain itu, metodologi pendidikan agama kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai kegamaan serta terbatasnya bahan-bahan bacaan keagamaan. Buku-buku paket pendidikan agama saat ini belum memadai untuk membangun kesadaran beragama, memberikan keterampilan fungsional keagamaan dan mendorong perilaku bermoral dan berakhlak mulia pada peserta didik.
  

Posting Komentar

0 Komentar